Alkisah di sebuah desa kecil penduduknya hidup dari bertani dan beternak. Namun mereka hidup rukun, aman dan tenteram. Tetapi akhir-akhir ini kehidupan mereka terusik. Hampir
tiap malam penduduk desa itu kehilangan barang dan juga ternak. Penduduk
bingung karena setiap malam ada pencuri yang masuk ke desa itu.
Di suatu malam, di sebuah rumah sederhana dan disampingnya ada gereja kecil,
tinggal keluarga Bapak Pendeta. Mereka hanya bertiga, pendeta dan istrinya beserta
seorang anak perempuan mereka.
Malam itu mereka ngobrol-ngobrol hingga
larut malam. “Jadi kapan kamu akan menikah?” kata Pendeta ke putri semata
wayangnya yang kini sudah berusia 24 tahun. Di desa itu seorang wanita yang
sudah berusia 24 tahun dan belum menikah, sudah dianggap sangat tua. Maklum
karena disana pernikahan rata-rata diusia 19 tahun. Ibu Pendeta pun turut menimpali,
“kami ini sudah mulai tua nak, kami ingin melihat kamu punya suami dan kami
masih sempat menimang cucu,” ungkapnya.
Si anak hanya terdiam. Ia kembali
teringat cerita lama yang menghantuinya. Ia masih terbayang ketika 4 tahun lalu
ia harus kehilangan calon suaminya yang harus pergi merantau. Belum sempat berjumpa
dan meninggalkan pesan, ternyata ia ditinggalkan dan menikah dengan orang lain.
“Kalau kamu membisu seperti ini,
bagaimana ada jalan keluar?” Ungkap ibu Pendeta. Bapak Pendeta terdiam tetapi
keningnya berkerut seperti ada yang ia pikirkan. “Terserah Bapak dan Ibu saja,”
tiba-tiba anak gadisnya menjawab. Mereka bertiga terdiam. Ucapan seperti ini
sudah sering terucap dari mulut putrinya namun tetap tidak ada jalan keluar.
Dikeheningan malam itu, suasana
desa sudah sunyi. Seluruh penduduk sudah tertidur di peraduannya untuk menyimpan tenaga ke hari esok mencari
nafkah. Namun dikeheningan malam itu, ada sosok seseorang yang masih terbangun
dan mengintip-intip di rumah Pak Pendeta. Malam ini ia mencari target dan ingin
mencuri di rumah itu. Ia seorang pemuda dan sudah berondok di bawah jendela dan siap
dengan alat pencongkel jendela. Namun karena Keluarga Pak pendeta masih terbangun
dan ngobrol-ngobrol, ia menunggu dan bersembunyi di luar berharap keluarga itu segera
tidur dan ia bebas melakukan aksinya.
Di dalam rumah, Pak Pendeta,
istri dan anaknya masih terbagun dan ngobrol-ngobrol bagaimana mencari jalan
keluar agar putrinya bisa menikah. Tiba-tiba Pak Pendeta berdiri dan berkata, “
begini saja, siapa saja seorang pemuda yang selalu datang lebih awal ke gereja
setiap kebaktian minggu, hingga 5 minggu berturut-turut, itulah yang menjadi
jodohmu!” Bu Pendeta heran dan terkejut dan ingin mengutarakan sesuatu, namun
ia coba berpikir lebih tenang akhirnya ia terdiam. Anak gadisnya juga demikan.
Ia tidak habis pikir, mana mungkin seorang pemuda di desa itu datang ke gereja
lebih awal? “Jadi jika tidak ada yang datang lebih awal, bagaimana?” ucapnya ke
Bapaknya. “Kamu tidak usah menikah,” ucap Pak Pendeta singkat.
Di luar sana ternyata semua percakapan
itu didengar si pencuri. Sangat jelas ditelinganya ucapan Pak Pendeta
yang mengatakan siapa saja pemuda yang selalu datang lebih awal ke gereja saat
kebaktian, ia akan dinikahkan dengan putri pendeta. Malam itu ia pun pulang dan
mengurungkan niatnya untuk mencuri.
Ketika tiba di hari Minggu,
dengan pakaian rapi ia langsung pergi ke gereja pagi-pagi sebelum jemat lainnya
datang. Ia duduk di bangku paling depan. Tujuannya agar ia bisa terlihat jelas
oleh Pak Pendeta. Benar, Pak Pendeta melihatnya lalu menghampiri dan
menyalaminya. Minggu berikutnya, kembali anak muda itu datang lebih awal dan
seperti biasa duduk di depan. Pak Pendeta pun selalu menyalamnya. Di Minggu
berikutnya juga demikian, pemuda tadi selalu datang lebih awal. Demikian
seterusnya hingga minggu kelima.
Singkat cerita, pemuda tadi pun
menjadi menantu Pak pendeta. Ia menikah dengan putri semata wayang Pendeta.
Saat itu juga ia bertobat. Ia menyesali semua perbuatannya yang selama ini selalu
mencuri di desa tersebut.
Sobat pembaca, ternyata
pertobatan itu bisa terjadi dengan berbagai cara. Anda punya cerita?
image:
No comments:
Post a Comment