Cuaca Kota Medan di sore hari itu sangat menyengat. Teriknya matahari
seakan melengkapi penderitaan akibat pemadaman listrik bergiliran yang mengakibatkan
kipas, AC dan sejenisnya tidak bisa beroperasi. Akibat kondisi itu, aku keluar
dari ruangan dan duduk di depan kantor sambil melihat orang-orang dan kendaraan
lalu lalang.
Saat duduk, lelaki setengah baya itu kembali lewat depan kantorku. Setiap
hari ia selalu lewat disana dan sudah menjadi pemandangan yang biasa. Namun
teriknya matahari membuat hari ini tampilan lelaki itu agak beda. Peluh tampak mengucur
deras di tubuhnya yang membuat bajunya basah kuyup. Wajah dan lengannya juga sangat
memerah akibat dibakar panasnya sang surya.
Namun bagai tak merasakan apapun, ia tetap berjalan. Dengan kondisi
kakinya yang tidak normal, ia jongkok, memilih dan memungut berbagai barang bekas
yang ada. Ia memetik apa saja. Dari plastik bekas, botol air mineral, kaleng,
kotak, kardus, kertas-kertas, dan lainnya.
Saya tiba-tiba tergerak ingin menyapanya. “Istirahat dulu Pak,” ucap
saya. Ia menoleh dan tersenyum. Saya bangkit dari duduk dan menemuinya. Saya mengajaknya
duduk dan memberikan sebotol teh dingin. “Terima kasih Pak,” ucapnya. Saya
mulai berbagi cerita dengannya dan mendengar kisah perjalanan hidupnya.
Awalnya beliau adalah seorang guru di sebuah SMP Negeri di Pekan Baru.
Ia di sana menjadi guru honor. “kenapa Bapak tidak guru lagi?” Tanya saya agak
penasaran. Ia bercerita kalau dulu ia berbadan sehat. Tapi sebuah peristiwa
membuyarkan semua harapan dan cita-citanya. Ia korban tabrak lari. Ia ditabrak
sebuah mobil dan si penabrak meninggalkannya begitu saja. Untung ia masih
hidup.
Dengan peristiwa itu, ia mengalami patah kaki yang sangat parah dan
kejadian itu sekitar tahun 2009. “Itulah
awalnya saya tidak bisa lagi mengajar,” tandasnya. Ia dibawa keluarga berobat
kesana kemari dan dalam jangka waktu yang lama. Hasilnya lumayan baik, sekarang
ia sudah bisa berjalan walau kondisi kakinya tidak normal lagi. Ia berjalan
pincang.
Ia menuturkan kalau saat ini sebenarnya ia masih mempunyai istri dan
seorang anak usia 12 tahun. Namun mereka terpisah, istri dan anaknya tinggal di
Pekan baru sedangkan ia hidup sendiri di Medan dan tinggal di rumah kecil
peninggalan orangtuanya. Menurut pengakuannya, saat ini istrinya adalah guru SD di pekan baru. “Saya sudah tiga tahun berpisah dengan mereka Pak”,
tuturnya. Menurut pengakuannya, ia masih bisa berkomunikasi dengan istri dan
anaknya melalui telepon tetangga. Dari raut wajahnya, ia tampak sangat
merindukan bagaimana agar ia bisa bertemu dan bersatu kembali dengan istri dan
anaknya.
“Saya menjadi tukang botot sudah hampir tiga tahun,” ucapnya ketika saya
bertanya tentang pekerjaannya. Setiap hari ia berangkat dari rumah dan tidak
tentu jamnya. Kadang jam tujuh pagi, jam delapan, bahkan jam sebelas menjelang
siang. Pulangnya juga demikian. Dengan berjalan berkeliling menelusuri jalan
yang satu ke jalan yang lain sambil membawa karung tempat barang-barang bekas,
ia menelusuri jalan dan tempat sampah untuk memungut berbagai barang bekas yang
ia perlukan. Ia memasukkan barang-barang tersebut ke karung besar yang ia sediakan.
“Saya menyetornya ke toke (boss penampung barang bekas) setiap dua
minggu sekali Pak,” katanya. Setiap
menyetor ke toke, ia memperoleh hasil penjualan sekitar 60.000 ke 70.000 rupiah. Artinya
penghasilannya sekitar 60.000-70.000 ribu/14 hari. Kadang-kadang ia makan hanya
sekali sehari saat ia tidak memiliki uang. Untuk membantu kebutuhannya, menurut
pengakuannya istrinya mengiriminya uang 100 ribu/bulan.
“Saya hanya bisa melakukan
pekerjaan ini Pak,” ucapnya. “Saya mensortir barang-barang ini setiap hari
setelah pulang,” katanya melanjutkan. “Entahlah Pak,” ucapnya ketika saya
tanyakan kapan lagi akan berjumpa dengan istri dan anaknya.
Dari setiap pembicaraan dengan beliau, saya begitu tertegun. Walau ia bercerita hanya sekilas, tapi masih banyak hal-hal yang belum
terungkap. Namun apapun itu, dengan kondisi kaki yang tidak normal itu, ia
masih mampu “berbuat”. Dia tidak pergi ke pinggir jalan sana untuk dikasihani
dan mengemis.
Secara akal manusia, ia tidak mungkin lagi mampu untuk mencapai
penghasilan lebih. Namun, diluar itu kiranya mujizat dan keuntungan selalu
berpihak pada beliau dan dapat kembali bersatu dengan anak dan istrinya yang
merupakan kerinduannya yang sangat dalam.
Demikianlah Pak Hutapea menjalani hidupnya.
*Tukang botot: pengumpul barang bekas