PieterSilitonga - Alfred
Binet yang menemukan Intelligence Quotient (IQ) pada awal 1970-an telah menjadi
tolak ukur kesuksesan dan harga diri seseorang. Intelligence Quotient saat itu
menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menilai keberhasilan seseorang
berdasarkan tingkat kecerdasan intelektualnya. Semakin tinggi IQ seseorang,
semakin sukses atau semakin tinggi pulalah kualitasnya.
Namun
pada tahun 1980-an, Daniel Goleman melalui teori barunya Emotional Quotient
(EQ) atau Kecerdasan Emosional berhasil mematahkan keberadaan si Intelligence
Quotient miliknya Alfred Binet. Hadirnya Kecerdasan Emosional menjadikan
seseorang tidak lagi hanya diukur berdasarkan kecerdasan intelektualnya, tetapi
kematangan emosinya yang mengacu kepada sikap (attitude) seseorang. Bahkan
hasil penelitian Universitas Harvard di Amerika menguatkan penemuan Goleman
ini, dimana kecerdasan intelektual (IQ) hanya 15% memengaruhi seseorang
diterima kerja dan naik pangkat. Sisanya 85% adalah disebabkan kematangan
emosionalnya.
Misteri
kecerdasan ini semakin berkembang, puncaknya pada tahun 1990-an. Danah Zohar
menggabungkan kedua kecerdasan itu menjadi Spiritual Quotient (SQ). Dengan SQ
seseorang yang pandai (IQ) akan mampu mengetahui mana yang benar dan salah,
baik dan buruk, patut dan tidak patut.
Berdasarkan
uraian tiga kecerdasan di atas, IQ, EQ dan SQ, orang boleh pintar dalam ilmu
pengetahuan, jago memutar kata, smart dalam merekayasa teknologi dan
pengetahuan, namun jika ia tidak memiliki kecerdasan emosional dan spritual, ia
akan sulit menyesuaikan diri dan sulit meningkatkan karir atau network. Bahkan
mungkin akan semakin terisolasi dan tidak perduli dengan sekitar.
Kita
bisa melihat atau membaca di berbagai media banyak pelaku kejahatan yang pada
dasarnya adalah orang-orang pandai bahkan usia muda. Mereka ini melakukan
kejahatan kriminal, ekonomi, teroris, dan masih banyak lagi. Mereka tidak punya
hati nurani, tidak memedulikan orang lain, mereka tega melukai dan membunuh
masa depan generasi yang terkena imbas kejahatan yang mereka lakukan.
Attitude
umumnya diperoleh dari lingkungan dan pergaulan bukan secara akademis. Ia adalah akumulasi perjalanan
hidup yang dialami sehari-hari, baik suka mau pun duka. Ia bisa berbentuk
tradisi, etika, norma, adat dan sebagainya. Dengan hidup di dalamnya, attitude
atau sikap seseorang akan semakin meningkat.
Dalam
menjalani hidup, seseorang tidak lagi hanya mengandalkan IQ saja karena
akan menimbulkan keangkuhan. Tidak pula
hanya EQ, karena ia akan menyebabkan kekosongan pengetahuan.
Yang
terbaik itu adalah menggabungkan IQ (Knowledge) dan EQ (Attitude) sehingga
membuat hidup seimbang, serasi, dan selaras. Kehidupan seperti ini tentunya
akan mendatangkan kedamaian, saling memahami, berkah, rezeki, sehingga kita
jauh dari berbagai hal yang menyulitkan.
image:
email: piter_centre{at}yahoo.com
-