Sebuah kejadian kecelakaan kereta api telah merenggut nyawa Gary dan Mary Jane Chauncey. Mereka adalah sepasang suami istri yang berasal dari negara bagian Lousiana. Sebelum meninggal dunia, mereka berdua sempat menyelamatkan putri kesayangan mereka dan anak satu-satunya, Andrea, yang kemudian harus menggunakan kaki palsu akibat cacat oleh kecelakaan tersebut. Yang menjadi tragis adalah, pasangan Chauncey tidak menghiraukan keselamatan diri sendiri sehingga akhirnya kehilangan nyawa.
Bila kita renungkan cerita di atas, bahwa suatu tindakan tidaklah hanya dilandasi pemikiran rasional. Secara rasional tindakan suami istri yang menyelamatkan putrinya adalah tidak logis atau tidak masuk akal. Mengapa mereka harus mengabaikan keselamatan diri sendiri dan mempertaruhkan nyawa untuk orang lain? Namun bila dilihat dari sisi perasaan/emosi, kita sepakat bahwa memang itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuh orang tua untuk menyelamatkan buah hatinya dalam situasi kritis.
Dengan melihat adanya satu sisi diluar sisi rasional tadi, barulah kita sadar bahwa ada sesuatu yang lain yang harus diperhatikan yaitu sisi perasaan/emosi.
Emosi atau emotion dapat diartikan sebagai bentuk yang bisa hadir dalam pikiran,perasaan dan dorongan dalam diri seseorang. Banyak penelitian mengemukakan bahwa dalam setiap emosi terkandung kecenderungan untuk bertindak. Ketika emosi timbul, ia akan menyiapkan kondisi tubuh terhadap macam-macam respon. Misalnya bila seseorang marah, darah akan mengalir dengan cepat sampai ke jari-jari tangan dan membuatnya mudah untuk memukul atau mengambil senjata tajam atau hal lainnya. Sebaliknya jika seseorang merasa bahagia,tenang dan damai maka sel-sel otak dipacu menghambat timbulnya perasaan – perasaan negatif dan merangsang peningkatan untuk selalu beraktivitas dan tersenyum.
Dalam sturktur otak manusia, emosi diatur oleh amygdala, yakni bagian kecil otak yang terletak di sisi kanan otak depan. Amygdala berbentuk seperti buah almond. Dengan keberadaannya pada sel otak, dapat dikatakan bahwa emosi adalah merupakan sebuah kecerdasan. Inilah yang disebut kecerdasan emosional (Emotional Intelligence).
Emotional intelligence diartikan sebagai kemampuan diri untuk memotivasi diri sendiri, mampu bertahan saat frustasi, mampu mengendalikan diri dalam berbagai suasana, mengatur mood atau suasana hati, berpikir jernih, berempati, bertanggungjawab dan selalu optimis.
Tidak seperti kecerdasan rasional yang perubahannya tidak banyak selama pertumbuhan seseorang, kecerdasan emosional ini tidak ditentukan sejak lahir. Ia dapat dikembangkan dan diperkuat melalui pendidikan dan interaksi dengan lingkungan. Seseorang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan memiliki ketekunan dan semangat yang besar, mampu menghadapi masalah dan tidak mudah putus asa.
Perbandingan kecerdasan emosional dan kecerdasan rasional dapat kita rasakan dalam diri kita. Bila salah satu diantaranya lebih dominan, maka akan terjadi ketidakseimbangan. Dengan ketidakseimbangan ini akan muncul pribadi yang secara ekstrim dinyatakan tidak rasional atau di lain pihak pribadi tidak berperasaan.
Sejauh mana kecerdasan emosional berperan dalam kesuksesan seseorang?
Penjelasan di atas jelas mengatakan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, ia akan mampu bertahan,tidak mudah putus asa, memiliki lotivasi dan semangat yang tinggi. Dalam menjalani segala aktivitas berarti seseorang yang ber –EI tinggi akan mampu menghadapai berbagai persoalan dengan taraf emosi yang dimilikinya. Ia tidak hanya menggunakan rasio atau logika dalam memecahkan berbagai situasi. Tetapi ia akan menggunakan emosi yang jauh lebih bermanfaat untuk menyelesaikan berbagai tantangan yang dihadapi.