PieterSilitonga - Senin (17/6) yang lalu Gatot Pujo Nugroho dan
T.Erry Nuradi resmi dilantik menjadi Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018
di gedung DPRD Sumut. Berakhir sudah segala perdebatan panjang dan berbagai isu
kecurangan dalam pilgubsu selama ini.
Kini saatnya
kita membuka lembaran baru dan menunggu aksi-aksi nyata atas janji Gubernur
terpilh semasa kampanye. Kita ketahui bahwa
sejak dimulainya masa kampanye, kelima kandidat tak henti-hentinya menyampaikan
visi dan misi yang tujuannya hampir sama. Intinya, mereka memberikan harapan
dan solusi untuk kepentingan rakyat banyak. Peningkatan pembangunan, pengentasan
kemiskinan, pengurangan angka pengangguran, penegakan hukum, pemberantasan
korupsi hingga program- program “bagus” lainnya menjadi tujuan utama mereka.
Dari semua tujuan “indah” itu, tentunya semua lapisan dan golongan
masyarakat Sumatera Utara mengharapkan terobosan-terobosan baru yang akan
membawa manfaat dan kemajuan secara merata dan menyeluruh bagi masyarakat
sumatera utara. Hal ini juga tidak terlepas dari harapan kaum difabel yang
dalam kehidupannya masih merasakan diskriminasi dan terbatasanya sarana dan
prasarana yang membuat mereka sulit bahkan tidak mampu berkarya dan
mengembangkan diri sama seperti orang normal.
Sekedar mengingat kembali, istilah difabel (different ability people)
adalah seseorang yang menderita keterbatasan fisik atau mental atau keduanya.
Penderita tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, tunalaras, tunagrahita,
dan tunaganda (keterbatasan fisik dan mental) adalah contohnya. Istilah difabel
ini diberikan bagi mereka untuk menggantikan kata penyandang cacat yang sering
berkonotasi negatif.
Jika melihat sekeliling, sebenarnya sudah banyak kaum difabel yang
mampu mengukir prestasi baik dalam pendidikan, pekerjaan, dan wiraswasta. Pun
demikian masih banyak yang “tertinggal” dan memerlukan bantuan orang
lain. Kita tidak bisa menutup mata atas ruang gerak mereka yang sangat
terbatas.
Keterbatasan akses bagi kamu difabel selain karena rendahnya rasa
percaya diri, juga diakibatkan masih belum optimalnya perhatian pemerintah dan
support dari masyarakat sendiri. Misalnya saja akses politik. Kaum difabel
terhambat oleh suatu klausul untuk menjadi anggota dewan. Klausul yang dimaksud
ialah bahwa calon anggota dewan bersyarat sehat jasmani dan rohani.
Realitas lainnya adalah banyaknya perusahaan swasta yang enggan
menerima kaum difabel sebagai karyawannya. Banyak stigma negatif yang
menyatakan bahwa kaum difabel tidak bisa bekerja dengan baik.
Sebenarnya hak-hak kaum difabel telah diatur tersendiri dalam Undang -
undang yang memberikan akses luas bagi mereka. Undang - undang Nomor 4 tahun
1997 menyatakan bahwa minimal harus ada 1 orang penderita difabel dari
100 karyawan di sebuah perusahaan. Begitu juga dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 tahun 1998 tentang upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial bagi
Penyandang Cacat. Ditegaskan bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan,
pendidikan dan kemampuannya.
Namun Penerapan undang-undang tersebut masih jauh dari harapan!
Faktanya, hak kaum difabel banyak yang tidak diberikan. “Diskriminasi terhadap
kaum difabel terjadi hampir di semua aspek. Baik di dunia pekerjaan,
pendidikan, dan transportasi.
Bukan hanya pemerintah, pihak-pihak yang berkompeten dalam
pembangunan sarana-prasarana
juga tidak memperdulikan akses ke mereka. Kita lihat saja seperti trotoar atau
jembatan penyeberangan di berbagi kota. Tak ada satu pun yang layak dilewati
penyandang cacat. Demikian juga pusat perbelanjaan, gedung perkantoran,
sekolah, kampus, dan bank-bank hanya sedikit yang memberikan fasilitas agar
mudah diakses kaum difabel.
Harapan
Dengan terpilihnya Gubernur Sumatera Utara yang baru, sangat
diharapkan mampu melakukan gebrakan dan perhatian serius bagi kaum difabel.
Harapan itu tentunya bisa diwujudkan dengan tiga hal pokok berikut:
Pertama, membuat regulasi baru yang lebih bersifat imperative
(memerintahkan) dan melakukan law enforcement sehingga bisa lebih memaksa
perusahaan memperluas kesempatan kerja bagi kaum difabel. Hal ini sudah
diatur dalam UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan diikuti oleh
Kepmenakertrans No.205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga
Kerja Penyandang Cacat, serta Surat Edaran Menakertrans No.01.KP.01.15.2002
tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan.
Kedua, Pemerintah diharapkan memberikan support dengan
memberikan keterampilan dan kompetensi kerja bagi kaum difabel agar mampu
meningkatkan kemampuan dan kapabilitas untuk memperoleh kesempatan yang sama
dalam bekerja atau berwirausaha.
Ketiga, aksesibel (dapat diakses) bagi tempat-tempat umum seperti
tempat hiburan, bank, mall, perkantoran, gedung sekolah, kampus, dan sarana
transportasi. Biasanya kaum difabel sangat kesulitan mengakses
tempat-tempat ini karena tidak memiliki sarana yang memadai untuk kondisi
mereka. Dengan adanya pembenahan sarana dan prasarana, tentunya kaum difabel
akan mudah mengakses tempat-tempat ini sehingga mereka menjadi mandiri
dan merasakan hak yang sama dengan orang normal.
Dengan memberikan banyak alternatif dan kesempatan yang seluas-luasnya
bagi kaum difabel, diharapkan mereka akan mampu hidup mandiri, produktif,
berkarya dan berprestasi. Jelas hal ini akan sangat membantu mereka untuk
meraih impian, cita-cita dan tetap merasa menjadi pribadi yang bermanfaat
ditengah keterbatasan fisik mereka. Karena bagaimanapun, dibalik
keterbatasannya mereka juga berkontribusi dalam menentukan jalannya pembangunan
dan terciptanya kehidupan masyarakat yang baik. Selamat bertugas Gubsu baru!
image: nsw.greens.org.au
email: piter_centre@yahoo.com