Tortor Batak kini menyedot perhatian masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat Batak. Berbagai komentar di situs jejaring sosial
seperti facebook dan twitter sangat ramai dan menunjukkan kegeraman yang
ditujukan ke negeri jiran Malaysia.
Hal ini berawal dari berita di
Bernama.com yang mengatakan bahwa
Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, Datuk Seri Dr
Rais Yatim Tari akan mendaftarkan tarian tortor dan gordang sembilan dalam
warisan budaya nasional Malaysia. Kedua kesenian itu akan didaftarkan dalam
Seksyen 67 sebagai Akta Warisan Kebangsaan 2005. Rais menyampaikan rencana itu
saat gathering masyarakat Mandailing di Malaysia.
Pernyataan Rais itu langsung memicu reaksi keras masyarakat
Indonesia apalagi selama ini Malaysia sudah banyak mengklaim warisan budaya
Indonesia sebagai miliknya. Mampukah Malaysia mengklaim tortor ini yang jelas-jelasnya milik suku
Batak dan tidak mudah melakonkannya?
Untuk lebih memahami tortor dan segala aspek yang berhubungan dengannya, mari kita simak sekilas sejarah tortor
berikut.
Menurut sejarah, awalnya tari tortor dilakukan saat acara
ritual yang berhubungan dengan roh. Roh tersebut dipanggil dan “masuk” ke patung-patung
batu (merupakan simbol dari leluhur), lalu patung tersebut bergerak seperti
menari. Banyak jenis tortor yang digunakan etnis batak dalam setiap acara yang
dilakukan. Ada yang dinamakan tortor
Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar dimana terlebih dahulu tempat dan lokasi pesta
dibersihkan sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan
jeruk purut. Ada juga tortor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa
digelar pada saat pengukuhan seorang raja. Tari ini juga berasal dari 7 putri
kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan
dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). Kemudian ada tortor
Tunggal Panaluan yang biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah, maka
tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk mengatasi musibah
tersebut. Ada lagi tortor sigale-gale yang dilakonkan sebuah
patung kayu yang menggambarkan rasa cinta seorang raja terhadap anak tunggalnya
yang meninggal akibat serangan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Dalam manortor
(menari) secara umum menggambarkan permohonan kepada roh-roh leluhur agar
diberi keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah. Saat
manortor banyak pantangan yang tidak diperbolehkan, seperti tangan sipenari
tidak boleh melewati batas setinggi bahu keatas, bila itu dilakukan berarti
sipenari sudah siap menantang siapapun dalam bidang ilmu perdukunan, atau adu
pencak silat, atau adu tenaga batin dan lain lain.
Didalam manortor
(menari) orang Batak selalu menggunakan Ulos dan alat musik ( gondang ) yang
terdiri dari ogung sabangunan yang terdiri dari 4 ogung. Kalau kurang dari
empat maka dianggap tidak lengkap. Akan lebih lengkap lagi kalau ditambah
dengan alat kelima yang dinamakan Hesek. Kemudian Tagading yang terdiri dari 5 buah, dan Sarune (sarunai
harus memiliki 5 lobang diatas dan satu dibawah).
Tortor
biasanya didahului dengan Gondang Mula-mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat,
Gondang Simonang-monang, Gondang Sibungajambu, Gondang Marhusip, dan seterusnya
yang diakhiri dengan Gondang Hasahatan
Sitio-tio.
Secara garis
besar, terdapat empat gerakan dalam tortor. Pertama adalah Pangurdot, gerakan
yang dilakukan kaki, tumit sampai bahu. Kedua adalah Pangeal, merupakan gerakan
yang dilakukan pinggang, tulang punggung sampai bahu/sasap. Ketiga adalah Pandenggal,
yakni gerakan tangan, telapak tangan dan jari-jarinya. Gerakan keempat adalah
Siangkupna yakni menggerakan bagian leher.
Dalam acara tortor biasanya harus ada
orang yang menjadi pemimpin kelompok tortor dan pengatur acara (peminta
gondang) yang berkemampuan untuk memahami urutan gondang dan jalinan
kata-kata serta umpasa dalam meminta gondang.
|
Saat ini makna dan tujuan tortor semakin berkembang. Tortor
sudah tidak lagi diasumsikan lekat dengan dunia roh. Tortor menjadi sebuah
budaya dan seni yang sudah dikenal masyarakat dunia sebagai budaya tanah air. Tortor yang dilakukan saat ini mencakup pesta
adat perkawinan, pesta peresmian rumah parsattian, pesta tugu, pesta membentuk
huta/perkampungan, bahkan kalangan pemuda menggelar "pesta
naposo"sebagai ajang hiburan dan perkenalan (mencari jodoh). Pesta Naposo,
di beberapa daerah disebut juga pesta rondang bulan (Samosir), pesta rondang
bintang (Simalungun).
Dalam rangka rangka pelestarian seni budaya, tortor sudah
sering diperlombakan dalam bentuk festival tortor. Bahkan dalam setiap acara perayaan
Hari Kemerdekaan 17 Agustus, berbagai kecamatan di wilayah Silindung, Humbang
I, Humbang II, Toba dan Samosir menggelar Festival Tortor Tingkat Kabupaten, dan
selanjutnya juara-juara menjadi peserta pada Festival tortor di tingkat
Propinsi.
Tarian budaya
suku Batak ini sudah seringkali muncul di televisi sebagai bagian dari kekayaan
budaya Indonesia. Hampir setiap turis asing yang telah mengunjungi Sumatera
Utara, telah mengenal tortor dan mereka sering ikut manortor. Apalagi jika ada
acara-acara resmi yang dilakukan pemerintah untuk menyambut para wisatawan asing,
tortor digunakan sebagai hiburan dalam menyambut mereka.
Perkembangan
selanjutnya hingga memasuki abad modern, masyarakat Batak membawa seni budaya
ini ke tanah perantauan di luar Tapanuli
hingga ke luar negeri yang memberi hiburan ke masyarakat dunia dan
menjadi simbol etnis Batak.
Bagaimanapun
juga, tortor Batak adalah identitas seni budaya Indonesia yang harus
dilestarikan dan tidak lenyap oleh perkembangan zaman dan peradaban manusia.
Dalam tortor Batak terdapat nilai-nilai etika, moral dan budi pekerti yang
perlu ditanamkan kepada generasi muda. HORAS..
image: ilove-indonesia.com
(Penulis adalah alumnus
Kimia USU, blogger, pemerhati Lingkungan, IPTEK, Internet dan Sosial)