Seperti pekan-pekan sebelumnya, walau Minggu sore itu awan gelap menutupi langit biru pertanda hujan, senyum Leo tampak terkembang .Di hatinya bersemi sebongkah cinta yang hanya akan dipersembahkan untuk kekasihnya Wita yang sebentar lagi akan ia jumpai.
Setelah terlebih dahulu mengganti oli mobilnya di sebuah bengkel dan membeli pengharum mobil bernuansa apel, Leo meluncur ke rumah Wita. Ia tak lupa memutar lagu kesayangannya “You’re all I need”. Selama dalam perjalanan yang biasanya memakan waktu dua jam, Leo bersiul dengan hati berbunga mengikuti irama lagu group White Lion itu. Sekali-sekali ia melirik ke kaca kecil di mobilnya untuk menjaga penampilannya tetap rapi.
Walau kondisi lalu lintas macet, Leo tidak peduli, ia dengan sabar menunggu setiap antrian kendaraan. Di benaknya hanya terbersit wajah Wita.
Leo adalah seorang pemuda usia 27 tahun. Sewaktu ia berusia 11 bulan, ia diserang polio yang mengakibatkan kaki kanannya mengecil dan lemah. Untuk menjalankan aktivitasnya sehari-hari ia harus ditopang sebuah tongkat yang dengan setia melekat di ketiak kanannya.
Saat ini ia bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi aneka bahan-bahan Kimia. Di sana ia menjadi seorang kepala laboratorium. Walau kondisi kakinya cacat, Leo bisa bepergian kemana saja dengan mobil pribadi yang ia desain sedemikian rupa, sehingga kaki kanannya tidak perlu menginjak rem dan pedal gas. Seperangkat alat dari pipa besi telah ia desain khusus untuk bisa menggantikan tugas kaki kanannya.
Tetapi karena kondisi Leo yang cacat, keluarga Wita tidak setuju kalau hubungan Wita dengan Leo berlanjut. Mereka selalu berusaha memutuskan hubungan itu dengan berbagai cara. Pun demikian Wita dengan Leo tetap menjalin hubungan walau back street.
Tidak terasa hampir dua jam perjalanan, Mobil Leo melewati sebuah perempatan jalan dan sekitar 24 meter di depannya rumah Wita sudah tampak. Tak lama kemudian, ia pun sampai di depan rumah bercat abu-abu itu.
Dengan debaran jantung yang agak menguat, Leo turun dan membunyikan bel di depan rumah Wita. Tidak ada sahutan. Ia kembali memencet bel kedua kalinya, juga tidak ada sahutan. Dengan sedikit ragu, ia kembali memencet bel untuk ketiga kalinya. “Siapa?,” ada suara dari dalam. “Leo, Mbak” jawab Leo dengan pelan. “Wita tidak ada,ia pergi sejak tadi pagi bersama tunangannya,” kembali suara dari dalam menyahutnya. “Kemana ya Mbak?,” tanya Leo. Kembali tidak ada jawaban.
Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu rumah. “Wita pergi sejak pagi tadi bersama tunangannya untuk mencetak undangan pernikahan,” kata Mbak Min,kakak kandung Wita yang sudah setahun ini berada di Medan karena ikut suaminya yang bekerja di instansi Pemerintah.
Bingung seribu bahasa diselingi darahnya yang mulai berdesir dingin, Leo pun terdiam. Karena ia mengetahui Mbak Min tidak akan mempersilahkannya duduk, apalagi disuruh menunggu, Leo permisi. “Permisi Mbak,” ucap Leo sambil berbalik keluar halaman rumah Wita. “ Iya,nanti saya akan beritahu kalau kamu datang,” ucap Mbak Min dengan senyum terpaksa. Leo yang sudah mengetahui senyum itu hanya pura-pura, membalasnya dengan senyum juga.”Pemain sandiwara,” gerutunya dalam hati.
Ia pun pulang dari rumah Wita. Hatinya penuh tanya. Apakah benar Wita akan segera menikah? Apakah hubungan yang dibina selama tiga tahun ini berakhir begitu saja tanpa pesan? Apakah karena Wita tidak kuasa menahan tekanan dari keluarga sehingga ia rela menikah dengan pemuda lain? Apakah pertengkarannya kemarin dengan Wita yang membuatnya tega meninggalkannya? Apakah,apakah,apakah..? Semuanya terlintas di benak Leo.
Sebulan lalu ia masih ingat ketika mereka bertemu, Wita masih mengatakan bahwa ia akan tetap mempertahankan cintanya,walau apapun yang terjadi. Selama perjalanan pulang, Leo tidak habis pikir dan ia mencoba menghubungi Wita melalui handphone Nokia miliknya. Tidak ada jawaban selain “telepon yang Anda tuju sedang...”. Leo bingung, pikirannya kacau, dan tampak keringat dingin membasahai tubuhnya walau ia berusaha menenangkan diri .
Disela-sela perasaan tak menentu, ia kembali teringat kata-kata sepupunya beberapa hari yang lalu. “Untuk apalagi kamu menjalin hubungan dengan dia? Bukankah keluarganya melarang hubunganmu dengan Wita? Wita juga selalu berusaha menyakiti hatimu dengan pergi bersama pemuda lain,” begitulah kata-kata yang dilontarkan Erna,ketika Leo mendiskusikan hubungannya dengan Wita. “Saya tidak mampu melihat dia bersanding dengan orang lain. Saya tidak bisa membayangkan lagu AVE MARIA berkumandang ketika ia duduk dipelaminan,” jawab Leo kepada sepupunya itu. “Terserah kamu Leo, saya tidak yakin Wita mencintaimu dengan tulus,” balas Erna tanpa bermaksud mematahkan semangat leo.
“Apa ucapan Mbak Erna jadi kenyataan?,” bisiknya dalam hati.
Tak tau mau berbuat apa-apa, dengan hati gundah gulana, ia pergi ke Medan Mall. Di lantai tiga ia masuk ke Toko Buku Gramedia. Di sana ia membaca dan membolak-balik aneka judul buku. Tak ada satu pun buku yang ia minati. Tanpa membeli sebuah buku pun, ia pergi meninggalkan tempat itu dan dengan suasana hati yang suram, ia menelusuri setiap sudut kota Medan tak tentu arah.
Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat tiga belas menit. Besok Leo harus bekerja. Dengan pikiran yang masih mengambang dan kacau, Leo pulang. Diam seribu bahasa sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Hanya beberapa detik, dentuman keras sebuah mobil menghempas trotoar jalan dan berguling hingga dua kali. Leo langsung tewas. Dia meninggalkan dunia yang fana ini dengan segenggam cinta yang masih bersemi.
Setelah terlebih dahulu mengganti oli mobilnya di sebuah bengkel dan membeli pengharum mobil bernuansa apel, Leo meluncur ke rumah Wita. Ia tak lupa memutar lagu kesayangannya “You’re all I need”. Selama dalam perjalanan yang biasanya memakan waktu dua jam, Leo bersiul dengan hati berbunga mengikuti irama lagu group White Lion itu. Sekali-sekali ia melirik ke kaca kecil di mobilnya untuk menjaga penampilannya tetap rapi.
Walau kondisi lalu lintas macet, Leo tidak peduli, ia dengan sabar menunggu setiap antrian kendaraan. Di benaknya hanya terbersit wajah Wita.
Leo adalah seorang pemuda usia 27 tahun. Sewaktu ia berusia 11 bulan, ia diserang polio yang mengakibatkan kaki kanannya mengecil dan lemah. Untuk menjalankan aktivitasnya sehari-hari ia harus ditopang sebuah tongkat yang dengan setia melekat di ketiak kanannya.
Saat ini ia bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi aneka bahan-bahan Kimia. Di sana ia menjadi seorang kepala laboratorium. Walau kondisi kakinya cacat, Leo bisa bepergian kemana saja dengan mobil pribadi yang ia desain sedemikian rupa, sehingga kaki kanannya tidak perlu menginjak rem dan pedal gas. Seperangkat alat dari pipa besi telah ia desain khusus untuk bisa menggantikan tugas kaki kanannya.
Tetapi karena kondisi Leo yang cacat, keluarga Wita tidak setuju kalau hubungan Wita dengan Leo berlanjut. Mereka selalu berusaha memutuskan hubungan itu dengan berbagai cara. Pun demikian Wita dengan Leo tetap menjalin hubungan walau back street.
Tidak terasa hampir dua jam perjalanan, Mobil Leo melewati sebuah perempatan jalan dan sekitar 24 meter di depannya rumah Wita sudah tampak. Tak lama kemudian, ia pun sampai di depan rumah bercat abu-abu itu.
Dengan debaran jantung yang agak menguat, Leo turun dan membunyikan bel di depan rumah Wita. Tidak ada sahutan. Ia kembali memencet bel kedua kalinya, juga tidak ada sahutan. Dengan sedikit ragu, ia kembali memencet bel untuk ketiga kalinya. “Siapa?,” ada suara dari dalam. “Leo, Mbak” jawab Leo dengan pelan. “Wita tidak ada,ia pergi sejak tadi pagi bersama tunangannya,” kembali suara dari dalam menyahutnya. “Kemana ya Mbak?,” tanya Leo. Kembali tidak ada jawaban.
Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu rumah. “Wita pergi sejak pagi tadi bersama tunangannya untuk mencetak undangan pernikahan,” kata Mbak Min,kakak kandung Wita yang sudah setahun ini berada di Medan karena ikut suaminya yang bekerja di instansi Pemerintah.
Bingung seribu bahasa diselingi darahnya yang mulai berdesir dingin, Leo pun terdiam. Karena ia mengetahui Mbak Min tidak akan mempersilahkannya duduk, apalagi disuruh menunggu, Leo permisi. “Permisi Mbak,” ucap Leo sambil berbalik keluar halaman rumah Wita. “ Iya,nanti saya akan beritahu kalau kamu datang,” ucap Mbak Min dengan senyum terpaksa. Leo yang sudah mengetahui senyum itu hanya pura-pura, membalasnya dengan senyum juga.”Pemain sandiwara,” gerutunya dalam hati.
Ia pun pulang dari rumah Wita. Hatinya penuh tanya. Apakah benar Wita akan segera menikah? Apakah hubungan yang dibina selama tiga tahun ini berakhir begitu saja tanpa pesan? Apakah karena Wita tidak kuasa menahan tekanan dari keluarga sehingga ia rela menikah dengan pemuda lain? Apakah pertengkarannya kemarin dengan Wita yang membuatnya tega meninggalkannya? Apakah,apakah,apakah..? Semuanya terlintas di benak Leo.
Sebulan lalu ia masih ingat ketika mereka bertemu, Wita masih mengatakan bahwa ia akan tetap mempertahankan cintanya,walau apapun yang terjadi. Selama perjalanan pulang, Leo tidak habis pikir dan ia mencoba menghubungi Wita melalui handphone Nokia miliknya. Tidak ada jawaban selain “telepon yang Anda tuju sedang...”. Leo bingung, pikirannya kacau, dan tampak keringat dingin membasahai tubuhnya walau ia berusaha menenangkan diri .
Disela-sela perasaan tak menentu, ia kembali teringat kata-kata sepupunya beberapa hari yang lalu. “Untuk apalagi kamu menjalin hubungan dengan dia? Bukankah keluarganya melarang hubunganmu dengan Wita? Wita juga selalu berusaha menyakiti hatimu dengan pergi bersama pemuda lain,” begitulah kata-kata yang dilontarkan Erna,ketika Leo mendiskusikan hubungannya dengan Wita. “Saya tidak mampu melihat dia bersanding dengan orang lain. Saya tidak bisa membayangkan lagu AVE MARIA berkumandang ketika ia duduk dipelaminan,” jawab Leo kepada sepupunya itu. “Terserah kamu Leo, saya tidak yakin Wita mencintaimu dengan tulus,” balas Erna tanpa bermaksud mematahkan semangat leo.
“Apa ucapan Mbak Erna jadi kenyataan?,” bisiknya dalam hati.
Tak tau mau berbuat apa-apa, dengan hati gundah gulana, ia pergi ke Medan Mall. Di lantai tiga ia masuk ke Toko Buku Gramedia. Di sana ia membaca dan membolak-balik aneka judul buku. Tak ada satu pun buku yang ia minati. Tanpa membeli sebuah buku pun, ia pergi meninggalkan tempat itu dan dengan suasana hati yang suram, ia menelusuri setiap sudut kota Medan tak tentu arah.
Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat tiga belas menit. Besok Leo harus bekerja. Dengan pikiran yang masih mengambang dan kacau, Leo pulang. Diam seribu bahasa sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Hanya beberapa detik, dentuman keras sebuah mobil menghempas trotoar jalan dan berguling hingga dua kali. Leo langsung tewas. Dia meninggalkan dunia yang fana ini dengan segenggam cinta yang masih bersemi.
image:http://4.bp.blogspot.com
4 comments:
Ceritanya tragis Bang... tapi menyajikannya bagus.
Maaf ya baru bisa berkunjung lagi...
Leo pergi utk selamanya dengan membawa segudang tanya yang belum terjawab...
Aku datang lagi, bawakan award utkmu. Diterima ya Bang... Thanks.. ^_^
Leo remind me of someone......
Post a Comment