Dengan mengenakan topi kumal kesayangannya, Pak Tua mengayuh sepeda yang dilengkapi dengan peralatan Tempel Ban menuju ke sebuah tempat yang menjadi tempat nongkrong para tukang becak di sekitar Pusat Pasar Simpang Limun Medan.
Di sanalah Pak Tua bekerja sebagai Tukang Tempel Ban. Di tempat pemberhentian para abang becak itu dia berharap dapat banyak pelanggan. Setiap hari ia menempel ban dengan upah rata-rata tiga ribu rupiah untuk satu ban. Tidak ada target khusus atau target minimum yang ia peroleh setiap hari. Kadang-kadang ia menempel 10 ban per hari dan bahkan tidak ada ban bocor untuk ditempel pada hari itu.
Umurnya sudah hampir 60 tahun. Dia berasal dari sebuah desa di Nusa Tenggara Timur. Di Medan ia hidup seorang diri tanpa istri, anak dan sanak saudara. Dulunya ia adalah bekas TKI ilegal ke Malaysia sekitar tahun 90-an. Tetapi ketika itu mereka diusir dan akhirnya Pak Tua sampai ke Pelabuhan di Tanjung Balai. Ia sampai ke Medan karena diajak seseorang lalu mencari nafkah dengan mengayuh becak. Becak itu adalah milik orang lain yang disewakan. Pak Tua hanya memberi setoran setiap hari.
Awalnya dia menggeluti tempel ban karena becak yang dulu ia pakai sudah rusak berat dan tidak mungkin lagi untuk diperbaiki. Kini lima belas tahun sudah Pak Tua menggeluti pekerjaan ini. Para abang becak sudah sangat kenal dan akrab dengannya.
Menurut Pak Tua, para langganannya sering memberi upah melebihi tarif. Tetapi kadang-kadang hanya dengan sebatang rokok.Walau demikian Pak Tua tetap merasa senang dan dengan hati yang gembira selalu memberi layanan terbaik untuk pelanggannya. Pak Tua semakin "terkenal" karena ia juga jagonya mengkusuk kaki yang terkilir.
Dia tidak berharap banyak dari pekerjaan ini. Dia tidak ingin menjadi seorang Toke Ban atau memiliki rumah yang besar. Dia hanya berharap bisa mengumpul biaya untuk ongkos pulang ke tanah kelahirannya di NTT. Dia sudah sangat ingin berjumpa dengan anak dan istrinya yang sudah 20 tahun ia tinggalkan.
Tetapi harapan demi harapan, impian itu tak kunjung datang. Bahkan saat ini beliau sudah melupakannya. Dia sudah lebih bahagia bercanda gurau dengan para abang becak yang menjadi teman setianya setiap hari.
Di sanalah Pak Tua bekerja sebagai Tukang Tempel Ban. Di tempat pemberhentian para abang becak itu dia berharap dapat banyak pelanggan. Setiap hari ia menempel ban dengan upah rata-rata tiga ribu rupiah untuk satu ban. Tidak ada target khusus atau target minimum yang ia peroleh setiap hari. Kadang-kadang ia menempel 10 ban per hari dan bahkan tidak ada ban bocor untuk ditempel pada hari itu.
Umurnya sudah hampir 60 tahun. Dia berasal dari sebuah desa di Nusa Tenggara Timur. Di Medan ia hidup seorang diri tanpa istri, anak dan sanak saudara. Dulunya ia adalah bekas TKI ilegal ke Malaysia sekitar tahun 90-an. Tetapi ketika itu mereka diusir dan akhirnya Pak Tua sampai ke Pelabuhan di Tanjung Balai. Ia sampai ke Medan karena diajak seseorang lalu mencari nafkah dengan mengayuh becak. Becak itu adalah milik orang lain yang disewakan. Pak Tua hanya memberi setoran setiap hari.
Awalnya dia menggeluti tempel ban karena becak yang dulu ia pakai sudah rusak berat dan tidak mungkin lagi untuk diperbaiki. Kini lima belas tahun sudah Pak Tua menggeluti pekerjaan ini. Para abang becak sudah sangat kenal dan akrab dengannya.
Menurut Pak Tua, para langganannya sering memberi upah melebihi tarif. Tetapi kadang-kadang hanya dengan sebatang rokok.Walau demikian Pak Tua tetap merasa senang dan dengan hati yang gembira selalu memberi layanan terbaik untuk pelanggannya. Pak Tua semakin "terkenal" karena ia juga jagonya mengkusuk kaki yang terkilir.
Dia tidak berharap banyak dari pekerjaan ini. Dia tidak ingin menjadi seorang Toke Ban atau memiliki rumah yang besar. Dia hanya berharap bisa mengumpul biaya untuk ongkos pulang ke tanah kelahirannya di NTT. Dia sudah sangat ingin berjumpa dengan anak dan istrinya yang sudah 20 tahun ia tinggalkan.
Tetapi harapan demi harapan, impian itu tak kunjung datang. Bahkan saat ini beliau sudah melupakannya. Dia sudah lebih bahagia bercanda gurau dengan para abang becak yang menjadi teman setianya setiap hari.
image: http://kfk.kompas.com/system/files/imagecache
7 comments:
wah semangat yang luar biasa....
semoga saja kelak pak tua akan berkumpul kembali bersama keluarganya...
salut buat pak tua!
sukses sob!
ikutan belajar ah dari Pak Tua...
semangaaaaaadddddhhh....
thanks sharing artiklenya
wah... hebat,...
luar biasa... perlu belajar dari Pak Tua...
dua jempol dah buat Pak Tua...
jg buat pemilik blognya, makasih kakag dah share :D
Sudah 20 tahun tidak bertemu keluarga? Salut dgn. ketegaran beliau. Mudah2an beliau bisa segera mewujudkan impian bertemu dgn. keluarga...
Di Indonesia, perbedaan si kaya dan miskin sangat memprihatinkan...
kalau punya uang semilyar dikasihin deh sebagian buat usaha lain,daripada harus ngebecak,kasian udah tua,,,T__T
salut dengan semangat pak tua..luar biasa..
lae, mengkusuk itu ini artinya memijat ya...
Semangat yang seharusnya dimiliki oleh semua orang di Indonesia ini. Semangat yang sangat membara
Post a Comment