Tanah Somalia dikenal sebagai “Tanah Aromatik” pada zaman Mesir kuno dan merdeka pada tahun 1960 dengan nama Republik Somalia. Republic Somalia merupakan sebuah negara demokrasi parlementer sampai tahun 1969 sebelum angkatan bersenjata mengambil tampuk kepemimpinan dan menjadikan Somalia sebagai negara sosialis dengan nama Republik Demokratik Somalia.
Pada tahun 1977 Somalia terlibat konflik dengan Ethiopia. Dengan bantuan Uni Soviet, Ethiopia berhasil mempertahankan wilayah itu dan menyebabkan lebih dari 1.000.000 keluarga mengungsi ke Somalia. Hal ini menimbulkan masalah pengungsi yang sangat besar di Somalia. Somalia sendiri memiliki jumlah tentara yang sangat kecil, karena negeri ini selalu dilanda konflik dan perang saudara yang berkepanjangan.
Dengan kondisi yang demikian, banyak penduduk tidak bisa lagi hidup normal dan berusaha bertahan hidup dengan cara apapun diantaranya menjadi perompak. Saat ini masalah perompakan yang marak di wilayah laut Somalia sangat mengkhawatirkan dunia dan menjadi peristiwa serius bagi seluruh negara.
Siapa mereka?
Munculnya para perompak ini berawal 10-18 tahun lalu ketika pemerintahan Somalia jatuh dan meninggalkan banyak faksi bersenjata yang saling perang. Setelah tidak ada pemerintahan yang sah, maka para prajurit ini harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka banyak yang mencari pekerjaan ilegal.
Pada saat yang sama, perairan Somalia yang kaya ikan tuna dijarah habis-habisan oleh kapal nelayan internasional. Nelayan Somalia yang hidupnya terjepit menjadi murka. Mereka mencari kapal-kapal ilegal fishing dan menarik pajak. Dari sini, pajak berubah menjadi sandera kapal-kapal kargo berisi minyak, bahan tambang, peralatan militer dan apa saja.
Pilihan paling mudah bagi perompak ada di sebelah timur Somalia. Disana terdapat sebuah teluk (teluk Aden) yang merupakan jalan raya kapal-kapal kargo dari arah timur ke barat. Teluk ini merupakan daerah empuk bagi mereka, karena tidak kurang dari 20.000 kapal dalam berbagai bobot setiap tahun lewat teluk itu.
Apa motifnya?
Sejauh ini motif mereka adalah uang dan ingin bertahan hidup. Untuk melakukan ini, sebenarnya mereka sudah melakukannya di darat dengan membuat pos-pos penjagaan dan meminta uang pada setiap orang yang lewat. Sekarang mereka melirik kesempatan lain, di laut.
Nelayan adalah orang-orang yang direkrut pertama kali untuk jadi perompak. Rata-rata umur mereka adalah 20-35 tahun. Nelayan paling mudah direkrut karena merasa sakit hati atas ilegal fishing dan punya akses ke laut berupa perahu.
Dari modal kecil-kecilan, para perompak lantas bertahap membeli senjata dan perahu yang lebih besar. Umumnya para perompak bekerja sendiri. Mayoritas perompak Somalia berasal dari Puntland, wilayah semiotonom di pantau utara Somalia. Tidak ada angka pasti berapa banyak perompak Somalia. Diperkirakan jumlahnya ribuan orang.
Dalam salah satu studi PBB terkait penyelundupan senjata di Afrika, ada laporan bahwa perompak bekerja sama dengan aparat negara yang korup untuk menjadikan sejumlah pelabuhan sebagai markas mereka. Kapal-kapal yang dirompak diseret ke pelabuhan resmi dan menunggu pembayaran uang tebusan. Ada juga bukti para ekspatriat Somalia yang bermukim di Kenya, Arab Saudi, dan sejumlah negara teluk lainnya menyediakan informasi soal kapal-kapal yang akan lewat di Teluk Aden.
Tiga Kelompok
Ada tiga kelompok besar yang menjadi cikal bakal perompak. Kelompok pertama adalah mantan nelayan. Mereka adalah tulang punggung operasi perompak karena sangat mengenal Teluk Aden. Kelompok kedua adalah mantan milisi dari perang saudara Somalia. Mereka menjadi eksekutor perompak. Kelompok ketiga adalah para ahli IT. Mereka yang mengoperasikan peralatan canggih untuk merompak kapal di tengah laut termasuk berkomunikasi lewat telepon satelit dan ahli senjata.
Para perompak ini mendapat senjata dari Yaman dan Mogadishu (ibu kota Somalia). Para pengamat menyatakan, pedagang senjata di Mogadishu menerima order senjata dari perompak lewat perusahaan transfer duit lokal. Setelah instruksi diterima, transaksi dengan senjata berjalan dan senjata dikirim lewat jalur darat ke Puntland. Mereka membayar tunai di tempat.
Cara para pembajak mampu membajak kapal-kapal besar adalah dengan latihan yang serius. Lebih dari 100 kapal pernah mereka rompak. Belasan kapal masih ditahan karena belum bayar tebusan. Harga tebusannya ada yang sangat mahal, mencapai ratusan juta dolar AS. Pemerintah Saudi harus merogoh kocek 110 juta dolar AS untuk membebaskan kapal tanker minyak mereka, Sirius Star.
Perompak yang beraksi di kapal, biasanya 20-50 orang hanyalah sebagian kecil dari mata rantai bisnis perompak. Di belakang mereka, ada lebih banyak orang lagi yang berperan agar tebusan berhasil dibayar.
Mereka menyerang dengan perahu yang cepat. Perahu ini bersenjata lengkap. Begitu kapal kargo sudah dalam genggaman, tim kedua masuk. Tim ini rata-rata sebanyak 50 orang. Mereka disebar di berbagai daerah kapal. Sebanyak 50 orang lainnya menunggu di pelabuhan, berjaga-jaga bila ada hal lain terjadi.
Para perompak hanya berbekal informasi dan sebuah GPS untuk beroperasi ke tengah laut. Mereka biasa menggunakan kapal induk, sebuah trawler Rusia untuk mengejar target. Kemudian mereka mengeluarkan perahu yang lebih kecil mendekati sisi kapal. Menggunakan peralatan sederhana seperti kaitan, tali, dan tangga. Sambil membawa senapan mesin mereka naik satu per satu dan menguasai kapal.
Saat ini bisnis perompak malah makin booming. Bisnis ini menjadi bisnis profesional dan dikerjakan lintas negara.
Kehidupan para perompak ternyata sangat mewah. Dengan uang tebusan per kapal mencapai jutaan dolar AS, maka bukan hal yang mustahil kalau para perompak itu hidupnya bergelimang harta. Mereka dikelilingi gadis-gadis cantik, rumah yang besar dan berhektar-hektar, mobil canggih dari Eropa dan Jepang, dan tentunya teknologi senjata terbaru. Duit hasil rampokan mereka bagi-bagi ke keluarga, ke kawan perompak, dan sisanya dibelikan senjata dan kapal baru.
No comments:
Post a Comment